HOT SITE CLICK HERE Pemutus segala kenikmatan duniawi | Islam For All
Breaking News
Loading...
Sunday, January 12, 2014

Pemutus segala kenikmatan duniawi





Sebelum  membicarakan  wawasan  Al-Quran  tentang  kematian, terlebih  dahulu  perlu  digaris bahawa kematian dalam pandangan Al-Quran tidak hanya terjadi  sekali,  tetapi  dua kali. Surah Ghafir ayat 11 mengabadikan sekaligus membenarkan ucapan orang-orang kafir di hari kemudian:

"Mereka berkata, 'Wahai Tuhan kami, Engkau telah mematikan kami dua kali dan telah menghidupkan kami dua kali (pula), lalu kami menyedari dosa-dosa kami maka adakah jalan bagi kami untuk keluar (dari siksa neraka)?"

Kematian  didefinisikan  sebagai "ketiadaan  hidup,"  atau  "antonim  dari  hidup."  Kematian pertama dialami oleh manusia sebelum kelahirannya, atau saat sebelum Allah SWT menghembuskan ruh kehidupan kepadanya; sedang kematian kedua, saat ia meninggalkan dunia  yang  fana  ini. Kehidupan  pertama  dialami  oleh  manusia pada saat manusia menarik dan menghembuskan nafas di dunia,  sedang  kehidupan kedua saat ia berada di alam barzakh, atau kelak ketika ia hidup kekal di hari akhirat.



Al-Quran  berbicara  tentang  kematian  dalam  banyak  ayat, sementara pakar memperkirakan tidak kurang dari tiga ratusan ayat yang berbicara  tentang  berbagai  aspek  kematian  dan kehidupan sesudah kematian kedua.


KESAN UMUM TENTANG KEMATIAN


 
Secara  umum  dapat  dikatakan  bahawa  pembicaraan  tentang kematian bukan  sesuatu  yang  menyenangkan.  Namun  manusia bahkan  ingin hidup seribu tahun lagi. Ini, tentu saja bukan hanya ucapan Chairil Anwar, tetapi Al-Quran  pun  melukiskan keinginan  sekelompok  manusia  untuk hidup selama itu (baca surat Al-Baqarah [2]: 96). Iblis berhasil  merayu  Adam  dan Hawa  melalui  "pintu"  keinginan  untuk  hidup  kekal selama-lamanya.


"Maukah engkau kutunjukkan pohon kekekalan (hidup) dan kekuasaan yang tidak akan lapuk? (QS Thaha  [20]: 120).


DEMIKIAN IBLIS MERAYU ADAM.


Banyak faktor yang membuat seseorang enggan mati. Ada  orang yang  enggan  mati  kerana ia tidak mengetahui apa yang akan dihadapinya setelah kematian; mungkin  juga  kerana  menduga bahawa  yang  dimiliki  sekarang  lebih  baik  dari yang akan didapati nanti. Atau mungkin juga kerana membayangkan betapa sulit  dan  pedih  pengalaman  mati  dan  sesudah mati. Atau mungkin kerana khuatir  memikirkan  dan  prihatin  terhadap keluarga  yang  ditinggalkan,  atau  kerana tidak mengetahui makna hidup dan mati, dan lain sebagainya, sehingga semuanya merasa cemas dan takut menghadapi kematian.

Dari  sini  lahir  pandangan-pandangan  optimistis  dan pesimistis terhadap  kematian  dan  kehidupan,  bahkan  dari kalangan para pemikir sekalipun.

Manusia,  melalui  pengalamannya  tidak  mampu mengetahui hakikat kematian,  kerana  itu  kematian  dinilai sebagai  salah  satu  ghaib nisbi yang paling besar. Walaupun pada  hakikatnya  kematian  merupakan  sesuatu  yang  tidak diketahui,  namun  setiap  menyaksikan  bagaimana  kematian meragut nyawa yang hidup manusia semakin  terdorong  untuk mengetahui  hakikatnya  atau,  paling tidak, ketika itu akan terlintas dalam benaknya, bahawa suatu ketika  ia  pun  pasti mengalami nasib yang sama.

Manusia  menyaksikan  bagaimana  kematian tidak memilih usia atau tempat, tidak  pula  menangguhkan  kehadirannya  sampai terpenuhi  semua  keinginan.  Di  kalangan  sementara orang, kematian menimbulkan kecemasan,  apalagi  bagi  mereka  yang memandang  bahawa hidup hanya sekali yakni di dunia ini saja. Sehingga tidak sedikit yang pada akhirnya menilai  kehidupan ini  sebagai siksaan, dan untuk menghindar dari siksaan itu, mereka menganjurkan agar melupakan kematian dan  menghindari sedapat  mungkin segala kecemasan yang ditimbulkannya dengan jalan melakukan apa saja secara bebas  tanpa  kendali,  demi mewujudkan  eksistensi manusia. Bukankah kematian akhir dari segala sesuatu? Kisah mereka.

Sebenarnya akal dan perasaan  manusia  pada  umumnya  enggan menjadikan  kehidupan  atau  kewujudan mereka terbatas pada puluhan tahun saja. Walaupun manusia menyedari bahawa  mereka harus mati, namun pada umumnya menilai kematian buat manusia bukan bererti kepunahan. Keengganan manusia menilai kematian sebagai  kepunahan  tercermin antara lain melalui penciptaan berbagai cara  untuk  menunjukkan  kewujudannya.  Misalnya, dengan  menyediakan  kuburan,  atau  tempat-tempat tersebut dikunjunginya dari saat ke  saat  sebagai  manifestasi  dari keyakinannya  bahawa  yang telah meninggalkan dunia itu tetap masih hidup walaupun jasad mereka telah tiada.

Hubungan antara yang hidup dan  yang  telah  meninggal  amat berakar  pada jiwa manusia. Ini tercermin sejak dahulu kala, bahkan jauh sebelum ke hadiran agama-agama besar dianut  oleh umat  manusia  dewasa  ini.  Sedemikian berakar hal tersebut sehingga orang-orang Mesir  Kuno  misalnya,  meyakini  benar keabadian manusia, sehingga mereka menciptakan teknik-teknik yang dapat mengawetkan  mayat-mayat  mereka  ratusan  bahkan ribuan tahun lamanya.

Konon  Socrates  pernah  berkata,  sebagaimana  dikutip oleh Asy-Syahrastani dalam bukunya Al-Milal wa An-Nihal (I:297),

"Ketika aku menemukan kehidupan (duniawi)  kutemukan bahawa akhir kehidupan adalah kematian, namun ketika aku menemukan kematian, aku pun menemukan kehidupan abadi. Kerana itu, kita harus prihatin dengan kehidupan (duniawi) dan bergembira dengan kematian. Kita hidup untuk mati dan mati untuk hidup."

Demikian  gagasan  keabadian  hidup  manusia  hadir  bersama manusia  sepanjang  sejarah  kemanusiaan.  Kalau  keyakinan orang-orang Mesir Kuno menghantar  mereka  untuk  menciptakan teknik  pengawetan  jenazah  dan  pembangunan  piramid, maka dalam pandangan pemikir-pemikir  modern,  keabadian  manusia dibuktikan oleh karya-karya besar mereka.

Abdul  Karim  Al-Khatib  dalam  bukunya Qadhiyat Al-Uluhiyah (I:214)  mengutip  tulisan  Goethe  (1749-1833  M)  yang menyatakan:

"Sesungguhnya usaha sungguh-sungguh yang lahir dari lubuk jiwa saya, itulah yang merupakan bukti yang amat jelas tentang keabadian. Jika saya telah mencurahkan seluruh hidup saya untuk berkarya, maka adalah merupakan hak saya atas alam ini untuk menganugerahi saya wujud baru, setelah kekuatan saya terkuras dan jasad ini tidak lagi memikul beban jiwa."

Demikian filosof Jerman itu menjadikan kehidupan duniawi ini sebagai  arena  untuk  bekerja keras, dan kematian merupakan pintu  gerbang  menuju  kehidupan  baru  guna  merasakan ketenangan dan keterbebasan dari segala macam beban.

PANDANGAN AGAMA TENTANG MAKNA KEMATIAN


Agama,  khususnya  agama-agama samawi, mengajarkan bahawa ada kehidupan sesudah kematian. Kematian adalah awal  dari  satu perjalanan  panjang  dalam  evolusi  manusia,  di  mana selanjutnya ia akan memperoleh kehidupan dengan segala macam kenikmatan atau berbagai ragam siksa dan kenistaan.

Kematian  dalam  agama-agama  samawi  mempunyai peranan yang sangat  besar    dalam   memantapkan  akidah  serta menumbuh kembangkan  semangat  pengabdian.  Tanpa  kematian, manusia tidak akan berpikir tentang apa  sesudah  mati,  dan tidak  akan  mempersiapkan  diri  menghadapinya. Kerana itu, agama-agama  menganjurkan  manusia  untuk  berpikir  tentang  kematian. Rasul  Muhammad  Saw, misalnya  bersabda, 

"Perbanyaklah mengingat pemutus  segala  kenikmatan  duniawi (kematian)."
Dapat  dikatakan  bahawa  inti  ajakan  para  Nabi  dan Rasul setelah kewajiban percaya  kepada  Tuhan,  adalah  kewajiban percaya akan adanya hidup setelah kematian.

Dari  Al-Quran  ditemukan bahawa kehidupan yang dijelaskannya bermacam-macam  dan  bertingkat-tingkat.  Ada  kehidupan tumbuhan,  binatang,  manusia,  jin, dan malaikat, sampai ke tingkat tertinggi  yaitu  kehidupan  Yang  Maha hidup  dan Pemberi Kehidupan. Di sisi lain, berulang kali ditekankannya bahawa ada kehidupan di  dunia  dan  ada  pula  kehidupan  di akhirat.  Yang  pertama  dinamai  Al-Quran al-hayat ad-dunya (kehidupan yang rendah),  sedangkan  yang  kedua  dinamakan al-hayawan (kehidupan yang sempurna).
"Sesungguhnya negeri akhirat itu adalah al-hayawan (kehidupan yang sempurna" (QS Al-'Ankabut [29]:  64).
Dijelaskan pula bahawa,

"Kesenangan di dunia ini hanya sebentar, sedang akhirat lebih baik bagi orang-orang bertaqwa, dan kamu sekalian (yang bertaqwa dan yang tidak) tidak akan dianiaya sedikitpun (QS Al-Nisa' 14]: 77)

Di lain ayat dinyatakan,
"Hai orang-orang yang beriman, mengapa jika dikatakan kepada kamu berangkatlah untuk berjuang di jalan Allah, kamu merasa berat dan ingin tinggal tetap di tempatmu? Apakah kamu puas dengan kehidupan di dunia sebagai ganti kehidupan di akhirat? Padahal kenikmatan hidup di dunia ini dibanding dengan akhirat (nilai kehidupan duniawi dibandingkan dengan nilai kehidupan) di akhirat hanyalah sedikit (QS At-Tawbah [9]: 38).
Betapa kehidupan  ukhrawi  itu  tidak  sempurna,  sedang  di sanalah  diperoleh  keadilan  sejati  yang  menjadi  dambaan setiap manusia, dan di sanalah  diperoleh  kenikmatan  hidup yang tiada taranya.

Satu-satunya  jalan  untuk  mendapatkan  kenikmatan  dan kesempurnaan itu, adalah  kematian,  kerana  menurut  Raghib Al-Isfahani:

"Kematian, yang dikenal sebagai berpisahnya ruh dari badan, merupakan sebab yang menghantar manusia menuju kenikmatan abadi. Kematian adalah perpindahan dari satu negeri ke negeri yang lain, sebagaimana diriwayatkan bahawa, "Sesungguhnya kalian diciptakan untuk hidup abadi, tetapi kalian harus berpindah dan satu negeri ke negeri (yang lain) sehingga kalian menetap di satu tempat." (Abdul Karim AL-Khatib, I:217)

Kematian walaupun kelihatannya adalah kepunahan, tetapi pada hakikatnya  adalah  kelahiran  yang  kedua. Kematian manusia dapat diibaratkan dengan menetasnya telur-telur.  Anak  ayam yang  terkurung  dalam  telur,  tidak  dapat  mencapai kesempurnaan evolusinya kecuali apabila ia menetas. Demikian juga  manusia,  mereka  tidak  akan mencapai kesempurnaannya kecuali apabila meninggalkan dunia ini (mati).

Ada beberapa istilah yang digunakan Al-Quran untuk  menunjuk kepada  kematian,  antara  lain  al-wafat  (wafat),  imsak (menahan). Dalam surat Al-Zumar (39): 42 dinyatakan bahawasanya,

"Allah mewafatkan jiwa pada saat kematiannya, dan jiwa orang yang belum mati dalam tidurnya, maka Allah menahan jiwa yang ditetapkan baginya kematian, dan melepaskan yang lain (orang yang tidur) sampai pada batas waktu tertentu."


Ar-Raghib menjadikan istilah-istilah tersebut sebagai  salah satu  isyarat betapa Al-Quran menilai kematian sebagai jalan menuju perpindahan ke sebuah tempat, dan keadaan yang  lebih mulia  dan  baik  dibanding dengan kehidupan dunia. Bukankah kematian adalah wafat yang bererti kesempurnaan serta  imsak yang bererti menahan (di sisi-Nya)?

Memang,  Al-Quran  juga  menyifati  kematian sebagai musibah malapetaka (baca surat Al-Ma-idah [5]: 106), tetapi  agaknya istilah  ini  lebih  banyak  ditujukan  kepada  manusia yang durhaka, atau terhadap mereka  yang  ditinggal  mati.  Dalam arti bahawa kematian dapat merupakan musibah bagi orang-orang yang ditinggalkan sekaligus musibah bagi  mereka  yang  mati tanpa  membawa  bekal  yang  cukup  untuk  hidup  di  negeri seberang.

Kematian  juga  dikemukakan  oleh  Al-Quran  dalam  konteks menguraikan  nikmat-nikmat-Nya  kepada  manusia. Dalam surat Al-Baqarah (2): 28 Allah mempertanyakan  kepada  orang-orang kafir.

"Bagaimana kamu mengingkari (Allah) sedang kamu tadinya mati, kemudian  dihidupkan (oleh-Nya),  kemudian kamu dimatikan dan dihidupkan-Nya kembali, kemudian kamu dikembalikan kepada-Nya." 

Nikmat yang diakibatkan  oleh  kematian,  bukan  saja  dalam kehidupan  ukhrawi  nanti,  tetapi  juga  dalam  kehidupan duniawi, karena tidak dapat  dibayangkan  bagaimana  keadaan dunia kita yang terbatas arealnya ini, jika seandainya semua manusia hidup terus-menerus tanpa mengalami kematian.

Muhammad Iqbal menegaskan bahawa mustahil  sama  sekali  bagi makhluk  manusia  yang  mengalami perkembangan jutaan tahun, untuk  dilemparkan  begitu  saja  bagai  barang  yang  tidak berharga.  Tetapi itu baru dapat terlaksana apabila ia mampu menyucikan dirinya secara terus menerus. Penyucian jiwa  itu dengan  jalan menjauhkan diri dari kekejian dan dosa, dengan jalan amal saleh. Bukankah Al-Quran menegaskan bahawa,

"Mahasuci Allah Yang di dalam genggaman kekuasaan-Nya seluruh kerajaan, dan Dia Mahakuasa atas segala sesuatu. Yang menciptakan mati dan hidup untuk menguji kamu siapakah di antara kamu  yang paling baik amalnya, dan sesungguhnya Dia     Maha Mulia lagi Maha Pengampun" (QS Al-Mulk [67]: 1-2).1

Demikian  terlihat  bahawa  kematian  dalam  pandangan  Islam bukanlah  sesuatu  yang  buruk,  kerana di samping mendorong manusia untuk  meningkatkan  pengabdiannya  dalam  kehidupan dunia  ini,  ia  juga merupakan pintu gerbang untuk memasuki kebahagiaan abadi, serta mendapatkan keadilan sejati.

KEMATIAN HANYA KETIADAAN HIDUP DI DUNIA

Ayat-ayat Al-Quran dan hadis Nabi menunjukkan bahawa kematian bukanlah  ketiadaan  hidup  secara  mutlak, tetapi ia adalah ketiadaan hidup di dunia,  dalam  erti  bahawa  manusia  yang meninggal pada hakikatnya masih tetap hidup di alam lain dan dengan cara yang tidak dapat diketahui sepenuhnya.

"Janganlah kamu menduga bahawa orang-orang yang  gugur di jalan Allah itu mati, tetapi mereka itu hidup di sisi Tuhannya dengan mendapat rezeki" (QS Ali-'Imran [3]: 169).

"Janganlah kamu mengatakan terhadap orang-orang yang meninggal di jalan Allah bahawa 'mereka itu telah mati,' sebenarnya mereka hidup, tetapi kamu tidak menyedarinya" (QS Al-Baqarah [2]: 154).

Imam Bukhari meriwayatkan melalui sahabat Nabi Al-Bara'  bin Azib,  bahawa  Rasulullah Saw., bersabda ketika putra beliau, Ibrahim, meninggal dunia, 
"Sesungguhnya untuk dia  (Ibrahim) ada seseorang yang menyusukannya di surga."
Sejarawan Ibnu Ishak dan lain-lain meriwayatkan bahawa ketika orang-orang  musyrik  yang  tewas  dalam  peperangan  Badar dikuburkan    dalam    satu    perigi    oleh    Nabi dan sahabat-sahabatnya, beliau  "bertanya"  kepada  mereka  yang telah  tewas  itu,  "Wahai  penghuni perigi, wahai Utbah bin Rabi'ah, Syaibah bin Rabi'ah, Ummayah bin Khalaf.  Wahai  Abu Jahl  bin  Hisyam,  (seterusnya  beliau  menyebutkan  nama orang-orang yang di dalam perigi itu satu per  satu).  Wahai penghuni  perigi!  Adakah  kamu  telah  menemukan  apa  yang dijanjikan Tuhanmu itu benar-benar ada? Aku  telah  mendapati apa yang telah dijanjikan Tuhanku."


"Rasul. Mengapa  Anda  berbicara  dengan  orang  yang  sudah tewas?"  Tanya  para  sahabat.  Rasul menjawab: "Ma antum hi asma' mimma aqul minhum,  walakinnahum  la  yastathi'una  anyujibuni  (Kamu  sekalian tidak lebih mendengar dari mereka, tetapi mereka tidak dapat menjawabku)."

Demikian beberapa teks keagamaan yang dijadikan alasan untuk membuktikan bahwa kematian bukan kepunahan, tetapi kelahiran dan kehidupan baru.

MENGAPA TAKUT MATI?

Di atas telah dikemukakan beberapa faktor  yang  menyebabkan seseorang merasa cemas dan takut terhadap kematian. Di sini akan dicuba untuk melihat lebih jauh betapa sebahagian dari  faktor-faktor  tersebut  pada  hakikatnya  bukan  pada tempatnya.

Al-Quran  seperti  dikemukakan  berusaha menggambarkan bahawa hidup di akhirat jauh lebih baik daripada kehidupan dunia.

"Sesungguhnya akhirat itu lebih baik untukmu daripada dunia" (QS Al-Dhuha [93]: 4). Musthafa  Al-Kik  menulis  dalam  bukunya  Baina  Alamain bahwasanya  kematian  yang dialami oleh manusia dapat berupa kematian mendadak seperti serangan  jantung,  dan sebahagainya,  dan  dapat  juga merupakan kematian normal yang terjadi melalui proses  menua  secara  perlahan.  Yang  mati mendadak  maupun  yang normal, kesemuanya mengalami apa yang dinamai sakarat al-maut (sekarat)  yakni  semacam  hilangnya kesedaran yang diikuti oleh lepasnya ruh dan jasad.

Dalam  keadaan  mati  mendadak,  sakaratul-maut  itu hanya terjadi beberapa saat singkat, yang mengalaminya akan merasa sangat  sakit  kerana  kematian  yang dihadapinya ketika itu diibaratkan oleh Nabi Saw  seperti "duri yang berada  dalam kapas,  dan  yang dicabut dengan keras." Banyak ulama tafsir menunjuk ayat Wa nazi'at gharqa (Demi malaikat-malaikat yang mencabut  nyawa  dengan  keras)  (QS  An-Nazi'at  [79]:  1), sebagai isyarat  kematian  mendadak.  Sedang  lanjutan  ayat surat    tersebut    yaitu    Wan    nasyithati    nasytha (malaikat-malaikat yang mencabut ruh  dengan  lemah  lembut) sebagai  isyarat  kepada  kematian  yang  dialami  secara perlahan-lahan. Kematian yang melalui proses lambat itu dan yang  dinyatakan oleh  ayat  di  atas  sebagai "dicabut dengan lemah lembut," sama keadaannya dengan proses yang  dialami  seseorang  pada saat  kantuk  sampai  dengan  tidur. Surat Al-Zumar (39): 42 yang  dikutip  sebelum  ini  mendukung  pandangan  yang mempersamakan  mati  dengan tidur. Dalam hadis pun diajarkan bahawasanya tidur identik dengan kematian. Bukankah doa  yang diajarkan  Rasulullah  Saw untuk  dibaca  pada saat bangun tidur adalah:

"Segala puji bagi Allah yang menghidupkan kami (membangunkan dari tidur) setelah mematikan kami (menidurkan). Dan kepada-Nya jua kebangkitan (kelak)."

Pakar tafsir Fakhruddin Ar-Razi, mengomentari surat Al-Zumar (39): 42 sebagai berikut:

"Yang pasti adalah tidur dan mati merupakan dua hal dari jenis yang sama. Hanya saja kematian adalah putusnya hubungan secara sempurna, sedang tidur adalah putusnya hubungan tidak sempurna dilihat dari beberapa segi."

Kalau demikian  mati  itu  sendiri  "lazat  dan  nikmat," bukankah  tidur  itu  demikian?  Tetapi  tentu  saja  ada faktor-faktor ekstern yang dapat menjadikan  kematian  lebih lazat dari tidur atau menjadikannya amat mengerikan melebihi ngerinya  mimpi-mimpi  buruk  yang    dialami    manusia. Faktor-faktor  tersebut muncul dan diakibatkan oleh amal manusia yang diperanankannya dalam kehidupan dunia ini Nabi Muhammad Saw. dalam sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Imam  Ahmad  menjelaskan  bahwa,  "Seorang  mukmin,  saat menjelang kematiannya, akan didatangi oleh  malaikat  sambil menyampaikan  dan  memperlihatkan  kepadanya  apa yang bakal dialaminya setelah kematian. Ketika itu tidak ada yang lebih disenanginya  kecuali  bertemu  dengan Tuhan (mati). Berbeda halnya  dengan  orang  kafir  yang  juga  diperlihatkannya kepadanya  apa  yang bakal dihadapinya, dan ketika itu tidak ada sesuatu yang lebih dibencinya  daripada  bertemu  dengan Tuhan."

Dalam surat Fushshilat (41): 30 Allah berfirman,
"Sesungguhnya orang-orang yang mengatakan bahawa Tuhan kami ialah Allah, kemudian mereka meneguhkan pendirian mereka, maka malaikat akan turun kepada mereka (dengan mengatakan), 'Janganlah kamu merasa takut dan jangan pula bersedih, serta bergembiralah dengan surga yang dijanjikan Allah kepada kamu.'"
Turunnya  malaikat  tersebut  menurut  banyak  pakar  tafsir adalah  ketika  seseorang  yang sikapnya seperti digambarkan ayat di atas sedang menghadapi  kematian.  Ucapan  malaikat, "Janganlah  kamu  merasa  takut"  adalah  untuk  menenangkan mereka menghadapi maut  dan  sesudah  maut,  sedang  "jangan bersedih"  adalah  untuk  menghilangkan  kesedihan  mereka menyangkut persoalan dunia yang ditinggalkan  seperti  anak, isteri, harta, atau hutang.

Sebaliknya Al-Quran mengisyaratkan bahawa keadaan orang-orang kafir ketika menghadapi kematian sulit terlukiskan:
"Kalau sekuatnya kamu dapat melihat malaikat-malaikat mencabut nyawa orang-orang yang kafir seraya memukul muka dan belakang mereka serta berkata, 'Rasakanlah olehmu siksa neraka yang membakar' (niscaya kamu akan merasa sangat ngeri)" (QS Al-Anfal [8]: 50)
"Alangkah dahsyatnya sekiranya kamu melihat diwaktu orang-orang yang zalim berada dalam tekanan-tekanan sakaratul maut, sedang para malaikat memukul dengan tangannya sambil berkata, 'Keluarkanlah nyawamu! Di hari ini, kamu dibalas dengan siksaan yang sangat menghinakan kerana kamu selalu mengatakan terhadap Allah perkataan yang tidak benar, dan kerana kamu selalu menyombongkan diri terhadap ayat-ayat-Nya" (QS Al-An'am [6]: 93).

Di  sisi  lain,  manusia  dapat  "menghibur"  dirinya  dalam menghadapi  kematian  dengan  jalan  selalu  mengingat  dan meyakini bahawa semua manusia pasti akan mati. Tidak  seorang pun  akan  luput  darinya,  kerana  "kematian  adalah risiko hidup." Bukankah Al-Quran menyatakan bahawa,
"Setiap jiwa akan merasakan kematian?" (QS Ali 'Imran [3]: 183)
"Kami tidak menganugerahkan hidup abadi untuk seorang manusia pun sebelum kamu. Apakah jika kamu meninggal dunia mereka akan kekal abadi? (QS Al-Anbiya' [21]: 34)
Keyakinan  akan  kehadiran  maut  bagi  setiap  jiwa  dapat membantu meringankan beban musibah kematian. Kerana, seperti diketahui, "semakin banyak yang terlibat dalam  kegembiraan, semakin  besar  pengaruh  kegembiraan  itu  pada  jiwa,  sebaliknya  semakin  banyak  yang  tertimpa  atau  terlibat musibah, semakin ringan musibah itu dipikul."

Demikian  Al-Quran  menggambarkan kematian yang akan dialami oleh manusia taat dan durhaka, dan demikian kitab suci  memberitahu  tentang  kematian  yang  dapat  menghantar seorang mukmin agar  tidak  merasa  khuatir  menghadapinya. Sementara, yang tidak beriman atau yang durhaka diajak untuk bersiap-siap menghadapi berbagai ancaman dan siksaan.

Semoga kita semua mendapatkan keredaan Ilahi dan syurga-Nya.

Wassalam

0 comments:

Post a Comment







Think Positive, Think Islam For All | Something that seems to break the laws of science that makes you think only Allah could have done it | AllahuAkbar | الله أكبر


Copyright © 2014 Islam For All All Right Reserved