Sejahat-jahat makhluk, ulama' su'
Baru-baru ini sebanyak 40 orang 'ulama' muda telah menjadi ahli UMNO. Banyak kata-kata yang kurang sedap diterjahkan kepada mereka. Anda pembaca boleh menilai sendiri jika anda pergi 'blogwalking' ke beberapa buah blog sensasi. Dari apa yang penulis tahu, tujuan mereka adalah ingin berdakwah. Jika itu nawaitu mereka, alhamdulilah, penulis ucapkan! Dan, bersyukur sangat sekiranya mereka dapat menasihatkan pak-pak menteri yang ada sekarang supaya apabila 'orang-orang besar' ini membuat tindakan atau keputusan, tindakan dan keputusan kerajaan itu tidak bercanggah dan melawan/ingkar hukum Allah!
Mereka ini digelar 'ulama' muda oleh UMNO. Anda pula bagaimana? Apakah anda ingin menggelarkan mereka 'ulama' juga? Terpulanglah kepada anda untuk membuat penilaian sendiri. Yang anda mesti tahu, ialah, 'ulama' muda ini terdiri daripada ustaz, pensyarah malah ada juga bekas pelajar agama, lulusan daripada universiti luar negara.
Di sini, penulis ingin mengingatkan dan memberi pesan kepada 40 orang 'ulama' muda tersebut tentang hadis Nabi SAW yang bermaksud:
"Jihad yang paling utama adalah berkata yang benar di hadapan sultan atau penguasa zalim".
Menggunakan jalan nasihat dan mengingatkannya kepada Allah SWT serta seksanya pada hari kiamat dimana ia kembali di akhirat nanti tanpa mengumpat atau mencerca, melukakan atau mengancam, inilah jalan yang paling tepat.
Oleh yang demikian, gunakan keberanian yang ada untuk menasihatkan dan mengingatkan pemerintah supaya taat akan perintah Allah SWT serta menjauhi mereka daripada perbuatan mungkar dan maksiat. itupun kalau mereka mahu selamat daripada seksaan yang penuh azab di akhirat nanti. Janganlah tergelincir hati dengan kemewahan dan darjat yang diperolehi / dijanjikan (jika adalah nanti!), yang boleh menyebabkan anda semua diberi gelaran 'ulama' su'.
Apa itu 'ulama' su'?
'Ulama' ertinya orang yang berpengetahuan, ahli ilmu. Kata su' adalah mashdar dari sa’a–yasû’u–saw’an; ertinya jelek, buruk atau jahat. Dengan demikian, al-ulama’ as-su' secara bahasa ertinya orang berpengetahuan atau ahli ilmu yang buruk dan jahat.
Rasul saw. bersabda:
"Ingatlah, sejelek-jelek keburukan adalah keburukan ulama dan sebaik-baik kebaikan adalah kebaikan ulama." (HR ad-Darimi).
Peranan ulama' menentukan kebaikan dan keburukan masyarakat.
Ad-Darimi menuturkan, ketika Said bin Jubair ditanya tentang tanda-tanda kebinasaan masyarakat, ia menjawab, “Jika ulama' mereka telah rosak.“
Abu Muslim al-Khaulani mengatakan, bahawa ulama' itu ada tiga jenis:-
Pertama: seseorang yang hidup dalam ilmunya dan orang lain hidup bersamanya dalam ilmunya itu.
Kedua: seseorang yang hidup dalam ilmunya, tetapi tidak seorang pun hidup bersamanya dalam ilmunya itu.
Ketiga: seseorang yang orang lain hidup bersamanya dalam ilmunya, tetapi hal itu menjadi bencana baginya.
Ibn Abi Hatim menuturkan dari jalan Sufyan ats-Tsauri, dari Abu Hayan at-Taymi, bahawa ulama' itu juga ada tiga golongan.
Pertama: orang yang takut kepada Allah dan mengetahui hukum-hukumNya. Itulah orang alim yang sempurna.
Kedua: orang yang takut kepada Allah tetapi tidak mengetahui hukum-hukumNya.
Ketiga: orang yang mengetahui hukum-hukum Allah, tetapi tidak takut kepadaNya, dialah orang alim yang jahat (al-alim al-fajir).
Pada ulama su’ atau fajir, ilmu yang dimiliki tidak dijadikan penuntun. Ia tidak beramal sesuai dengan ilmu yang ia ketahui.
Asy-Syathibi mengatakan, “Ulama su’ adalah ulama' yang tidak beramal sesuai dengan apa yang ia ketahui.”
Ibn Taimiyah, setelah mengutip QS al-A‘raf ayat 146, berkata,
“Inilah keadaan orang yang tidak beramal sesuai dengan ilmunya, tetapi mengikuti hawa nafsunya. Itulah kesesatan, sebagaimana firman Allah dalam QS al-A‘raf ayat 175-176; ini seperti ulama su’.”
Di antara ulama su’ itu adalah ulama' salathin, yaitu ulama yang menjadi tali barut penguasa. Anas bin Malik ra. menuturkan sebuah hadis:
"Kebinasaan bagi umatku (datang) dari ulama su’, mereka menjadikan ilmu sebagai barang dagangan yang mereka jual kepada para penguasa masa mereka untuk mendapatkan keuntungan bagi diri mereka sendiri. Allah tidak akan memberikan keuntungan dalam perniagaan mereka itu." (HR al-Hakim).
Menurut adz-Dzhabi, ulama su’ adalah 'ulama' yang mempercantik kezaliman dan ketidakadilan yang dilakukan oleh penguasa, 'ulama' yang memutarbalikan kebatilan menjadi kebenaran untuk penguasa, atau ulama' yang diam saja (di hadapan penguasa) padahal ia mampu menjelaskan kebenaran.
Anas meriwayatkan:
"Ulama adalah kepercayaan para rasul selama mereka tidak bergaul dengan penguasa dan tidak asyik dengan dunia. Jika mereka bergaul dengan penguasa dan asyik dengan dunia maka mereka telah mengkhianati para rasul. Kerana itu, jauhilah mereka". (HR al-Hakim).
Hal itu kerana, jika 'ulama' bergaul dengan penguasa dan sering mendatanginya, yang diharapkan adalah dunia. Tentu yang dimaksud bukan 'ulama' yang datang untuk beramal makruf nahi mungkar dan membetulkan penguasa.
Rosaknya 'ulama' di antaranya kerana sifat tamak terhadap dunia. Ad-Darimi menuturkan, Umar bertanya kepada Kaab, “Apa yang mengeluarkan ilmu dari hati ulama?” Kaab menjawab, “Ketamakan.”
Keluarnya ilmu dari hati maksudnya bukan dilupakan, tetapi ilmu itu ditinggalkan, pengaruhnya hilang dan tidak lagi dijadikan tontonan. Hal itu sama saja dengan menukar ilmu atau agama dengan dunia. Inilah satu di antara sikap ulama su’. Ulama' demikian lebih layak di neraka.
Abu Hurairah ra. menuturkan hadis:
"Siapa yang makan dengan (memperalat) ilmu, Allah membutakan kedua matanya (atau wajahnya di dalam riwayat ad-Dailami), dan neraka lebih layak untuknya". (HR Abu Nu‘aim dan ad-Dailami).
Maksudnya adalah ulama yang menjadikan ilmunya sebagai alat untuk memperoleh kekayaan.
As-Sayrazi mengatakan, “Syaitan mendandani keburukan di hadapan ulama hingga berhasil menjerumuskan mereka dalam kemurkaan Allah. Mereka lalu memakan dunia dengan memanfaatkan agama, memperalat ilmu untuk mendapatkan kekayaan dari para penguasa, serta memakan harta wakaf, anak yatim dan orang miskin. Syaitan telah berhasil memalingkan perhatian ulama' itu untuk mencari pangkat dan kedudukan di hati makhluk. Itulah yang menyeret mereka ke dalam perdebatan, persaingan dan kebanggaan.”
Al-Minawi, dalam Faydh al-Qadîr, mengatakan, “Bencana bagi umatku (datang) dari ulama su’, yaitu ulama yang dengan ilmunya bertujuan mencari kenikmatan dunia, meraih pangkat dan kedudukan. Setiap orang dari mereka adalah tawanan syaitan. Ia telah dibinasakan oleh hawa nafsunya dan dikuasai oleh kesengsaraannya. Siapa saja yang keadaannya demikian, maka bahayanya terhadap umat datang dari beberapa sisi. Dari sisi umat; mereka mengikuti ucapan-ucapan dan perbuatan-perbuatannya. Ia memperindah penguasa yang menzalimi manusia dan mudah mengeluarkan fatwa untuk penguasa. Pena dan lisannya mengeluarkan kebohongan dan kedustaan. Kerana sombong, ia mengatakan sesuatu yang tidak ia ketahui.”
Kata tidak tahu tidak ada dalam kosakata ulama su’. Ia merasa janggal mengatakan tidak tahu. Padahal, Ibn Umar yang hebat itupun, tidak merasa malu untuk mengatakan tidak tahu. Ibn al-Mubarak meriwayatkan dari Ibn Umar, bahawa ia pernah ditanya tentang sesuatu, lalu ia menjawab, “Aku tidak tahu.” Kemudian ia menempelak dengan mengatakan, “Apakah engkau ingin menjadikan punggung-punggung kami sebagai jambatan bagi kalian ke neraka Jahanam?”
Muadz bin Jabal membahagi ulama su’ di dalam tujuh tingkatan neraka.
Tingkat pertama: ulama yang jika mengingatkan manusia, ia bersikap kasar; jika diingatkan manusia, ia menolak dengan tinggi hati.
Tingkat kedua: ulama yang menjadikan ilmunya alat untuk mendapatkan pemberian penguasa.
Tingkat ketiga: ulama yang menahan ilmunya (tidak menyampaikannya).
Tingkat keempat: ulama yang memilih-milih pembicaraan dan ilmu guna menarik wajah orang-orang dan ia tidak memandang orang-orang yang memiliki kedudukan rendah.
Tingkat kelima: ulama yang mempelajari berbagai perkataan dan pembicaraan orang Nasrani dan Yahudi guna memperbanyak pembicaraannya.
Tingkat keenam: ulama yang mengangkat dirinya sendiri seorang mufti dan ia berkata kepada orang-orang, “Bertanyalah kepadaku.” Orang itu ditulis di sisi Allah sebagai orang yang berpura-pura atau memaksakan diri dan Allah tidak menyukai orang demikian.
Tingkat ketujuh: ulama yang menjadikan ilmunya sebagai kebanggaan dan kepuasan intelektual saja.
Kerana semua itu, al-Ghazali mengingatkan, “Hati-hatilah terhadap tipu daya ulama su’. Sungguh, keburukan mereka bagi agama lebih buruk daripada syaitan. Sebab, melalui merekalah syaitan mampu menanggalkan agama dari hati kaum Mukmin. Atas dasar itu, ketika Rasul saw ditanya tentang sejahat-jahat makhluk, Beliau menjawab, “Ya Allah berilah ampunan.”
Beliau mengatakannya sebanyak tiga kali, lalu bersabda, “Mereka adalah ulama su’.”
Wallahualam.
Jazakallah Khairan.
0 comments:
Post a Comment